Friday, February 19, 2010

PERILAKU SOSIAL TOKOH UTAMA DALAM PROSA LIRIK PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian kehidupan dari masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya ( vision du monde ) kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu, menjadikannya dapat diposisikan sebagai dokumen
sosiobudaya ( Pradopo dalam Jabrohim, ed 2001: 59). Roekhan (1990: 91) juga menyatakan bahwa karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang
telah lama ada dalam jiwa seorang pengarang. Pengalaman jiwa yang terendap dalam diri pengarang dikreasikan dan ditambah dengan imaji pengarang sendiri sehingga pengalaman jiwa yang ditangkap pengarang melalui pengamatannya terhadap hakikat hidup dan kehidupan tadi telah beralih ke dalam karya sastra yang diciptakan pengarang, tercermin melalui ciri dan kejiwaan tokoh-tokoh
imajinernya.
Dengan melihat pernyataan Pradopo dan Roekhan di atas, dapat
diperoleh kesimpulan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan hasil
budaya yang melibatkan pribadi pengarang dalam mengolah berbagai bentuk
peristiwa sosial kehidupan sehari-hari. Karya yang dihasilkan pengarang adalah
karya fiktif belaka. Melalui proses kreatif seorang pengarang, maka lahirlah karya
sastra yang banyak mengacu pada realitas kehidupan sehari-hari pada suatu
tempat dan waktu. Realitas di dalam karya sastra sudah tentu bukan lagi realitas
yang sesungguhnya, melainkan realitas dalam rekaan pengarang.
Dari karya sastra ini kita mengenal pula berbagai genre, salah satunya
adalah prosa lirik. Prosa lirik sebagai karya fiktif tidak bernilai kosong, melainkan
mengandung nilai-nilai. Hal itu sesuai dengan fungsi dulce et utile :
menyenangkan dan berguna (Wellek dan Austin Warren 1989: 25). Berguna
karena bisa menambah kekayaan batin, memberi inovasi. Menyenangkan karena
cara menyampaikannya dengan menggunakan bahasa yang indah, sehingga tidak
membosankan dan bisa memberikan perasaan senang, gembira yang terungkap
secara implisit maupun eksplisit dalam menangkap serta memahami maknanya.
Tidak mudah untuk memahami semua makna yang terkandung dalam
karya sastra, karena tidak jarang bahwa karya sastra itu banyak mengandung
simbol-simbol atau imaji-imaji. Untuk menafsirkan simbol dan imaji tersebut
perlu memiliki pengetahuan yang luas. Meski modal untuk itu sudah dimiliki,
namun sering juga mengalami sedikit kekeliruan dalam mengungkap maknamaknanya,
karena karya sastra bersifat multi interpretable, dapat ditafsirkan dari
berbagai sudut pandang sesuai dengan penafsiran pembaca. Jadi, apa yang
tertangkap oleh pembaca tidak harus sesuai dengan apa yang dimaksud oleh
pengarang.





Salah satu cara pengarang mengungkapkan makna dari karyanya antara
lain melalui penampilan para tokoh yang menjadi fokus pelaku cerita. Sebuah
karya sastra akan menjadi menarik apabila cerita di dalamnya menjadi hidup
dengan menghadirkan para tokoh dengan segala aktifitas dan konflik yang
menyertainya. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita yang terdapat
dalam karya sastra.
Tokoh cerita adalah orang ( -orang ) yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam tindakan
(Abrams dalam Nurgiyanto 1998: 155). Pengarang melalui karyanya mengungkap
manusia dan kehidupannya ke dalam penokohan, oleh karena itu penokohan
merupakan unsur cerita yang tidak dapat dihilangkan, melalui penokohan cerita
menjadi lebih nyata dan menarik. Suharianto (1982: 31) mengungkapkan bahwa
penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan
lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya,
keyakinannya, adat istiadat, dsb.
Manusia selalu memperhatikan pola-pola perilaku yang beragam. Kita
bisa melihat dan mengenal kehidupan manusia lebih dalam kalau pola-pola
perilaku tersebut diamati dan dijelmakan oleh pengarang melalui karya sastra
yang diciptakanya. Semi (1990: 76) menyatakan bahwa penjelajahan ke dalam
batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk manusia
yang unik dan kompleks ini merupakan sesuatu yang merangsang. Bila ingin
melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi.
Dalam banyak hal, kehidupan manusia dapat dikembangkan ke teori-teori
psikologi.
Dengan begitu, teori psikologi juga dapat dipergunakan untuk mengenal
pola perilaku masyarakat dalam realitas kehidupan di sekitar kita yang penuh
diwarnai oleh sebuah pola kultur, yakni kultur Jawa. Kultur tersebut sangat besar
pengaruhnya bagi individu yang berada di dalamnya. Hal itu dapat kita rasakan
pada diri sendiri atau orang lain pada kultur yang sama. Pada dasarnya
mempunyai sikap khas yang antara lain sabar, nrima, dan ikhlas. Sebagai contoh,
dapat kita lihat perilaku wanita Jawa di dusun Kluthuk.
Di dusun Kluthuk yang terletak di kabupaten Bantul, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta ( DIY ) banyak ditemukan wanita Jawa yang selain
mempunyai ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik yang kuat. Mereka
terbiasa bekerja keras secara fisik, misalnya mencari rumput untuk pakan ternak,
memanggul padi hasil panen, atau menggendong barang dagangan dan masih
harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya wanita Jawa mempunyai kebiasaan
untuk bangun paling pagi dan tidur paling akhir, sementara sepanjang hari
mengurus rumah. Meski tetap harus berjualan di pasar, ia masih juga menyiapkan
makan untuk suami dan anak-anaknya. Jarang ditemukan wanita Jawa yang manja
dan tidak mau bekerja (Christiana S. Handayani – Ardhian Novianto, 2004: 130).
Cristiana (2004: 117) dalam Kuasa Wanita Jawa mengatakan bahwa
konsep paternalistik yang secara formal hadir dalam hal pembagian peran antara
laki-laki dan wanita serta bagaimana kultur dusun tersebut menempatkan laki-laki
dan wanita juga unik. Ada konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam
masyarakat Jawa bahwa istri adalah konco wingking. Secara tegas Padmo, sesepuh
dusun Kluthuk mengatakan:


Baca Selengkapnya


No comments: