Friday, February 19, 2010

PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL TRILOGI: JENDELA-JENDELA, PINTU, DAN ATAP KARYA FIRA BASUKI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra dipandang sebagai refleksi zaman yang mewakili pandangan
dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan anggota masyarakat atau
kelompok sosial tertentu. Karya sastra juga dipandang sebagai refleksi zaman
yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Hubungan antara pengarang, sastra, dan masyarakat bukanlah
sesuatu yang dicari-cari, bahkan sesuatu yang sah untuk dipermasalahkan. Karya
sastra pasti diciptakan oleh pengarang sebagai individu yang berasa dalam
masyarakat dan zaman tertentu.
Pandangan dunia pengarang merupakan produk interaksi antara pengarang
dengan situasi sekitarnya. Pandangan dunia pengarang terbentuk atas hubungan
antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata dan latar
sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkan. Pandangan dunia
pengarang akan dapat terungkap melalui tokoh problematiknya (problematic
hero). Pandangan dunia bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra
agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).
Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh karena,
pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas
kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur karya sastra (Goldmann dalam Endraswara,
2003:57).
Melalui karya sastra masyarakat pembaca sastra akan mengetahui
kehidupan sosial masyarakat pencipta karya sastra tersebut (Sumardjo 1995:99 –
100). Dengan demikian, karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan bertujuan
untuk menuliskan kembali kehidupan dalam bentuk cerita. Novel yang mampu
menggambarkan atau mencerminkan kehidupan yang nyata dalam sebuah
masyarakat tergolong sebagai novel yang baik, karena pada dasarnya, novel
adalah pengetahuan realita nonilmiah yang muncul dan terjadi dalam suatu
masyarakat (Wellek 1990:94). Dalam khasanah sastra sudah banyak pengarang
yang memunculkan karya sastra dalam bentuk novel. Salah satu novel yang akan
dijadikan objek penelitian ini adalah novel trilogi karya Fira Basuki.
Fira Basuki memang belum banyak dikenal oleh masyarakat, namun
karya-karyanya sudah mulai diperhatikan. Karya-karya Fira Basuki di antaranya
novel trilogi Jendela-jendela (2001), Pintu (2002), dan Atap (2002); Biru; Mr. B
(2004); serta Rojak (2004). Memahami novel karya Fira Basuki akan semakin
membuka mata hati pembaca untuk selalu percaya diri dan tidak mudah putus asa
dalam mengarungi hidup ini. Membaca ketiga novel, Jendela-jendela, Pintu dan
Atap baik secara berurutan atau tidak, pembaca akan menemukan hubungan satu
dengan lainnya. Membaca satu novel, pembaca akan tetap menemukan cerita
tersendiri yang terpisah. Fira Basuki mencoba mengupas berbagai sisi kehidupan
manusia sehari-hari.
Trilogi novel Jendela-jendela, Pintu dan Atap menceritakan kehidupan
dan problemanya di berbagai tempat seperti di Indonesia, Amerika Serikat, dan
Singapura. Tokoh utama, June dan Bowo, memiliki latar budaya Jawa yang
kental, tapi uniknya juga terpengaruh beberapa budaya asing. Judul-judul novel
triloginya mengambil bagian-bagian dari rumah yaitu Jendela-jendela, Pintu dan
Atap

Mau Dapat Uang Cuma-Cuma : Silahkan Gabung Ke :





Novel Jendela-jendela menceritakan tentang seorang wanita Indonesia
yang hidup di luar negeri untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya kenal dengan
seorang laki-laki dan diteruskan ke jenjang pernikahan. Namanya June,
lengkapnya June Larasati Subagio. Seorang wanita berdarah Jawa kental,
bersuamikan Jigme, pria Tibet baik hati yang kemudian memeluk Islam. Hidup
June tidak begitu penuh liku dan memilukan namun tetap ada cerita yang terselip
di dalamnya. Cerita tentang masa kuliahnya, pacar-pacarnya, suaminya, teman
sekantornya sampai perselingkuhannya.
Novel Pintu menceritakan kehidupan seorang pria yang memiliki mata
ketiga atau indera keenam. Bowo, tokoh utama, mengajak pembaca mengikuti
kehidupannya mulai saat lahir hingga kini. Ia juga mengajak pembaca membuka
berbagai pintu kehidupan. Bowo yang memiliki latar belakang budaya Jawa
berbagi cerita, mulai dari pengalaman spiritual hingga kehidupan percintaannya.
Atap, sebuah bagian dari rumah. Atap juga tempat June dan Bowo
bertemu. Untuk mereka berdua, di sana adalah tempat yang sepi dan luas, June
bisa bercerita panjang lebar dan kakaknya mendengarkan serta berkomentar. June
berkelana pengembara mencari cinta dan menemukan jawaban siapakah Mr x si
pengagum gelap June. Sementara Bowo, kian mengasah indera keenam atau mata
ketiganya dan Bowo pun menentukan tautan hatinya.
Pada umumnya karya sastra lahir dari situasi yang terjadi disekitar
pengarang. Sastra merupakan gambaran masyarakat. Hal ini berarti bahwa
kejadian-kejadian atau problem kehidupan yang terjadi dalam masyarakat direkam
oleh pengarang dan didasarkan daya imajinasi dan kreasinya masalah-masalah
tersebut dituangkan dalam karya sastra. Pengarang mengajak pembaca untuk
melihat, merasakan, dan menghayati makna pengalaman hidup seperti yang
dirasakan pengarang melalui karyanya. Semi (1993:73) mengatakan bahwa sastra
merupakan gejolak hidup masyarakat, dan sastra mengabdikan diri untuk
kepentingan masyarakat. Karya sastra bisa menjadi gambaran masyarakat di
sekitar pengarang.
Karya sastra pada hakikatnya adalah pengejawantahan kehidupan, hasil
pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Pengarang dalam menciptakan
karya sastra didasarkan pada pengalaman yang telah diperolehnya dari realitas
kehidupan di masyarakat yang terjadi pada peran tokoh di dunia nyata dan
dituangkan ke dalam bentuk karya sastra (Suharianto 1982:11). Harjana
mengatakan bahwa karya sastra, termasuk novel merupakan potret kehidupan
yang mengangkut persoalan sosial tertentu. Untuk itulah, lahirnya karya sastra
tidak terlepas dari aspek sosial masyarakat tempat karya sastra itu diciptakan,
artinya karya sastra itu juga sebagai hasil imajinasi pengarang dan fenomena
sosial dari lingkungan masyarakat tempat pengarang berada (1981:71).


Baca Selengkapnya


No comments: